Bismillah. Alhamdulillah, semoga shalawat
serta salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad Shallallaahu
‘alaihi wasallam, keluarganya serta para sahabatnya, kemudian kepada
mereka yang setia mengikuti beliau hingga akhir zaman, radhiyallahu
‘anhum jamii’an.
Yang disebut diatas adalah bagian dari
Sunnah-sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam kehidupan
sehari-hari. Berikut dalil-dalilnya.
1. Mendahulukan Kaki Kanan Saat Memakai Sandal Dan Kaki Kiri Saat Melepasnya
Dalilnya diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhaariy rahimahullah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ
عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ
بِالْيَمِينِ وَإِذَا نَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ لِيَكُنْ
الْيُمْنَى أَوَّلَهُمَا تُنْعَلُ وَآخِرَهُمَا تُنْزَعُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullaah
bin Maslamah, dari Maalik, dari Abu Az-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian memakai sandal, maka
hendaklah memulai dengan kaki yang kanan, dan apabila melepasnya
hendaklah memulai dengan kaki yang kiri, agar yang kanan menjadi yang
pertama kali mengenakan dan terakhir melepasnya.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 5856; Shahiih Muslim no. 2099]
2. Menjaga Dan Memelihara Wudhu
Al-Imam Ibnu Maajah rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي
الْجَعْدِ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ
أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا
مُؤْمِنٌ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin
Muhammad, telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari
Manshuur, dari Saalim bin Abul Ja’d, dari Tsaubaan radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Beristiqamahlah kalian! Dan kalian tidak akan pernah bisa melakukannya
(namun berusahalah kalian untuk menetapinya). Ketahuilah kalian bahwa
sebaik-baik amalan kalian adalah shalat, dan tidaklah menjaga wudhu’
kecuali seorang mu’min.”
[Sunan Ibnu Maajah no. 277, 278, 279; Sunan Ad-Daarimiy no. 655]
– Shahih lighairihi.
Dishahihkan Al-Haafizh Al-Mundziriy dalam
At-Targhiib wa At-Tarhiib 1/130, dan disepakati Syaikh Al-Albaaniy
dalam Shahiih Ibnu Maajah no. 226.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhaariy :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ
حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ خَالِدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ عَنْ
نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ قَالَ رَقِيتُ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ عَلَى ظَهْرِ
الْمَسْجِدِ فَتَوَضَّأَ فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ فَمَنْ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Bukair, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari
Khaalid, dari Sa’iid bin Abu Hilaal, dari Nu’aim Al-Mujmir, ia berkata,
aku menuju masjid yang nampak bersama Abu Hurairah, kemudian berwudhu’,
Abu Hurairah berkata, “Sesungguhnya aku mendengar Nabi Shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya ummatku akan dikumpulkan di
hari kiamat dengan anggota tubuh bersinar karena bekas-bekas wudhu’,
maka barangsiapa diantara kalian mampu untuk memanjangkan cahayanya
hendaklah ia lakukan.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 136; Shahiih Muslim no. 248]
3. Bersiwak (Menggosok Gigi dengan Kayu Siwak)
Sangat banyak dalil-dalil yang menunjukkan kalau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai bersiwak, diantaranya adalah :
أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ
وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ يَزِيدَ وَهُوَ ابْنُ زُرَيْعٍ،
قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي عَتِيقٍ، قَالَ:
حَدَّثَنِي أَبِي، قَالَ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله
عليه وسلم قَالَ: ” السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ “
Telah mengkhabarkan kepada kami Humaid
bin Mas’adah dan Muhammad bin ‘Abdil A’laa, dari Yaziid -dan dia adalah
Ibnu Zurai’-, ia berkata, telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin
Abi ‘Atiiq, ia berkata, telah menceritakan kepadaku Ayahku, ia berkata,
aku mendengar ‘Aaisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallaahu
‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Siwak adalah kebersihan untuk mulut
dan mendatangkan ridha Rabb.”
[Sunan An-Nasaa'iy Ash-Shughraa no. 5]
– Hasan.
Dishahihkan Al-Haafizh Al-Mundziriy dalam
At-Targhiib 1/133; Al-Imam An-Nawawiy dalam Al-Majmuu’ 1/267; Syaikh
Al-Albaaniy dalam Shahiih An-Nasaa’iy.
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ
الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا ابْنُ بِشْرٍ، عَنْ مِسْعَرٍ، عَنْ الْمِقْدَامِ
بْنِ شُرَيْحٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ، قُلْتُ: ”
بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ
بَيْتَهُ؟ قَالَتْ: بِالسِّوَاكِ “
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib
Muhammad bin Al-’Alaa’, telah menceritakan kepada kami Ibnu Bisyr, dari
Mis’ar, dari Al-Miqdaam bin Syuraih, dari Ayahnya, ia berkata, aku
bertanya kepada ‘Aaisyah, “Dengan apa yang Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wasallam lakukan pertama kali ketika memasuki rumahnya?” ‘Aaisyah
menjawab, “Beliau bersiwak.”
[Shahiih Muslim no. 255; Musnad Ahmad no. 25465]
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا
جَرِيرٌ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: ”
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوصُ
فَاهُ بِالسِّوَاكِ “
Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan,
ia berkata, telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Manshuur, dari
Abu Waa’il, dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam jika bangun malam ia menggosok mulutnya
dengan siwak.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 246; Shahiih Muslim no. 257]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ،
قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم قَالَ: ” لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى
النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ “
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullaah
bin Yuusuf, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari
Abu Az-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika bukan
karena memberatkan ummatku atau manusia, maka akan kuperintahkan mereka
untuk bersiwak setiap akan shalat.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 887; Jaami' At-Tirmidziy no. 22]
Bahkan di saat-saat terakhir beliau pun
masih meminta siwak kemudian diambilkan oleh ‘Aaisyah, diratakan
ujung-ujungnya kemudian diberikan kepada beliau yang berada di
pangkuannya. Semua ini menunjukkan keutamaan dan sunnahnya bersiwak di
setiap waktu, tidak hanya ketika akan memulai shalat.
4. Shalat Istikharah
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhaariy :
حَدَّثَنَا مُطَرِّفُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
أَبُو مُصْعَبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الْمَوَالِ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا
الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا كَالسُّورَةِ مِنْ الْقُرْآنِ
إِذَا هَمَّ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَقُولُ
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ
وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ
وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ
كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي
وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ
لِي وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي
وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ
فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ
كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ
Telah menceritakan kepada kami Mutharrif
bin ‘Abdullaah Abu Mush’ab, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman
bin Abul Mawaal, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jaabir radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah
mengajarkan shalat istikharah kepada kami untuk setiap perkara,
sebagaimana mengajarkan surat dari Al Qur’an, beliau bersabda, “Jika
salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan
sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan shalat dua raka’at di luar
shalat wajib, dan hendaklah dia berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya aku
memohon petunjuk kepadaMu dengan ilmuMu, memohon ketetapan dengan
kekuasanMu, dan aku memohon karuniaMu yang sangat agung, karena
sesungguhnya Engkau berkuasa sedang aku tidak berkuasa sama sekali,
Engkau mengetahui sedang aku tidak, dan Engkau Maha Mengetahui segala
yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa keperluan ini
(kemudian ia menyebutkan langsung keperluan yang dimaksud) lebih baik
bagi diriku dalam agama, kehidupan, dan akhir urusanku –atau
mengucapkan, “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-”, maka
tetapkanlah ia bagiku dan mudahkanlah ia untukku. Kemudian berikan
berkah kepadaku dalam menjalankannya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa
urusan ini buruk bagiku dalam agama, kehidupan dan akhir urusanku –atau
mengucapkan, “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-”, maka
jauhkanlah urusan itu dariku dan jauhkan aku darinya, serta tetapkanlah
yang baik itu bagiku di mana pun kebaikan itu berada, kemudian
jadikanlah aku orang yang ridha dengan ketetapanMu tersebut,” Beliau
bersabda, “Hendaklah sebutkan keperluannya.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 6382]
5. Berkumur-Kumur Dan Menghirup Air dengan Hidung Dalam Satu Cidukan Telapak Tangan Ketika Berwudhu
Disunnahkan ketika berwudhu’ untuk
berkumur-kumur (Al-Madhmadhah), menghirup air dengan hidung
(Al-Istinsyaq), kemudian mengeluarkannya (Al-Istintsar), semua dalam
satu cakupan telapak tangan. Dalil-dalilnya adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ
أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عَطَاءُ بْنُ
يَزِيدَ عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى
عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ دَعَا بِوَضُوءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ
إِنَائِهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي
الْوَضُوءِ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ…ثُمَّ قَالَ
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ نَحْوَ
وُضُوئِي هَذَا
Telah menceritakan kepada kami Abul
Yamaan, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari
Az-Zuhriy, ia berkata, telah mengkhabarkan kepadaku ‘Athaa’ bin Yaziid,
dari Humraan maulaa ‘Utsmaan bin ‘Affaan, bahwasanya ia melihat ‘Utsmaan
bin ‘Affaan radhiyallahu ‘anhu meminta diambilkan air untuk berwudhu’.
Ia lalu menuang bejana itu pada kedua tangannya, lalu ia basuh kedua
tangannya tersebut hingga tiga kali. Kemudian ia memasukkan tangan
kanannya ke dalam air wudhunya, kemudian berkumur, memasukkan air ke
dalam hidung dan mengeluarkannya…kemudian ‘Utsmaan berkata, “Aku melihat
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam berwudhu’ seperti wudhu’ku ini.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 164]
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو
عَوَانَةَ عَنْ خَالِدِ بْنِ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ قَالَ أَتَانَا
عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَدْ صَلَّى فَدَعَا بِطَهُورٍ فَقُلْنَا
مَا يَصْنَعُ بِالطَّهُورِ وَقَدْ صَلَّى مَا يُرِيدُ إِلَّا
لِيُعَلِّمَنَا فَأُتِيَ بِإِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ وَطَسْتٍ فَأَفْرَغَ مِنْ
الْإِنَاءِ عَلَى يَمِينِهِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثُمَّ تَمَضْمَضَ
وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا فَمَضْمَضَ وَنَثَرَ مِنْ الْكَفِّ الَّذِي
يَأْخُذُ فِيهِ…ثُمَّ قَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَعْلَمَ وُضُوءَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ هَذَا
Telah menceritakan kepada kami Musaddad,
telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Khaalid bin ‘Alqamah,
dari ‘Abd Khair, ia berkata, ‘Aliy radhiyallahu ‘anhu mendatangi kami
dan sungguh ia telah selesai menunaikan shalat, lalu ia meminta air
untuk bersuci, kami berkata, “Apa yang hendak ia lakukan dengan bersuci
ketika selesai shalat? Tidaklah ia berkehendak demikian kecuali ia
hendak mengajari kami.” Lalu didatangkan bejana berisi air, kemudian
‘Aliy menuangkan air dari bejana tersebut pada tangan kanannya, dia
membasuh kedua tangannya tiga kali, lalu berkumur dan beristinsyaq tiga
kali, dia berkumur dan beristinsyaq dari telapak tangan yang dia gunakan
untuk mengambil air (yakni dengan tangan kanannya)…kemudian ‘Aliy
berkata, “Barangsiapa yang ia ingin mengetahui sifat wudhu’ Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam maka wudhu’nya seperti ini.”
[Sunan Abu Daawud no. 111]
– Shahih
6. Berwudhu Sebelum Tidur Dan Tidur Dengan Posisi Miring Ke Kanan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ قَالَ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ
فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ
الْأَيْمَنِ ثُمَّ قُلْ اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ
وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً
وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ
اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي
أَرْسَلْتَ فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ
وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَتَكَلَّمُ بِهِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Muqaatil, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullaah, ia
berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Manshuur, dari
Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Al-Baraa’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila engkau
hendak tidur, berwudhulah sebagaimana wudhu ketika hendak shalat.
Kemudian berbaringlah miring ke kanan, dan bacalah, Ya Allah, aku
tundukkan wajahku kepadaMu, aku pasrahkan urusanku kepadaMu, aku
sandarkan punggungku kepadaMu, karena rasa takut dan penuh harap
kepadaMu. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari
hukumanMu kecuali kepadaMu. Ya Allah, aku beriman kepada kitabMu yang
telah Engkau turunkan, dan kepada nabiMu yang telah Engkau utus. Jika
kau meninggal di malam itu, kau meninggal dalam keadaan fitrah.
Jadikanlah doa itu, sebagai kalimat terakhir yang engkau ucapkan sebelum
tidur.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 247; Shahiih Muslim no. 2712]
7. Berbuka Puasa Dengan Makanan Ringan
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ
حَدَّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ
يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ
عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ
فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Hanbal, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, telah menceritakan
kepada kami Ja’far bin Sulaimaan, telah menceritakan kepada kami
Tsaabit Al-Bunaaniy bahwa ia mendengar Anas bin Maalik radhiyallahu
‘anhu mengatakan, “Dahulu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
berbuka puasa dengan beberapa butir kurma muda (ruthb atau kurma basah)
sebelum melakukan shalat (Maghrib). Jika beliau tidak menemukan beberapa
kurma muda maka beliau berbuka dengan beberapa butir kurma matang (tamr
atau kurma kering). Jika beliau tidak menemukannya, maka beliau berbuka
dengan beberapa teguk air.”
[Sunan Abu Daawud no. 2356]
– Hasan. Lihat Ash-Shahiihah no. 2840.
8. Sujud Syukur Saat Mendapatkan Nikmat Atau Terhindar Dari Bencana
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ حَدَّثَنَا بَكَّارُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ
أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ أَمْرٌ فَسُرَّ بِهِ فَخَرَّ لِلَّهِ
سَاجِدًا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Al-Mutsannaa, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, telah
menceritakan kepada kami Bakkaar bin ‘Abdul ‘Aziiz bin Abu Bakrah, dari
Ayahnya, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallaahu
‘alaihi wasallam pernah kedatangan suatu perkara yang menyenangkan
beliau, maka beliau pun turun dan sujud kepada Allah.
[Jaami' At-Tirmidziy no. 1578; Sunan Abu Daawud no. 2774]
– Hasan. Al-Imam At-Tirmidziy rahimahullah berkata, “Hasan ghariib,”
dan dihasankan Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Tirmidziy.
9. Tidak Begadang Dan Segera Tidur Selesai Shalat Isya
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ، قَالَ:
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا خَالِدٌ
الْحَذَّاءُ، عَنْ أَبِي الْمِنْهَالِ، عَنْ أَبِي بَرْزَةَ، ” أَنّ
رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ
الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “
Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Sallaam, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul Wahhaab
Ats-Tsaqafiy, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Khaalid
Al-Hadzdzaa’, dari Abul Minhaal, dari Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam membenci tidur sebelum
shalat ‘Isyaa’ dan bercakap-cakap setelahnya.
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 568; Shahiih Ibnu Khuzaimah no. 346]
Oleh karena itu dimakruhkan tidur sebelum
shalat ‘Isya’ dan begadang setelahnya jika memang tidak ada keperluan.
Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah sampai membuat judul untuk bab ini :
بَابُ الزَّجْرِ عَنِ السَّهَرِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ
“Bab larangan dari begadang setelah shalat ‘Isya’”
10. Mengikuti Bacaan Muadzin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ
قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ
اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ
فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullaah
bin Yuusuf, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari
Ibnu Syihaab, dari ‘Athaa’ bin Yaziid Al-Laitsiy, dari Abu Sa’iid
Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Jika kalian mendengar seruan adzan, maka katakanlah
seperti apa yang diserukan mu’adzin.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 611; Shahiih Muslim no. 386]
حَدَّثَنِي إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ
أَخْبَرَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ الثَّقَفِيُّ
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ
خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسَافٍ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمِ
بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
فَقَالَ أَحَدُكُمْ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى
الصَّلَاةِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ
اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin
Manshuur, telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin
Jahdham Ats-Tsaqafiy, telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin
Ja’far, dari ‘Umarah bin Ghaziyyah, dari Khubaib bin ‘Abdurrahman bin
Isaaf, dari Hafsh bin ‘Aashim bin ‘Umar bin Al-Khaththaab dari Ayahnya
dari Kakeknya, yaitu ‘Umar bin Al-Khaththaab radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika
seorang mu’adzin mengumandangkan adzan seraya berseru, ‘Allah Mahabesar,
Allah Mahabesar’, lalu salah seorang di antara kalian mengucap, ‘Allah
Mahabesar, Allah Mahabesar’, kemudian mu’adzin berseru, ‘Saya bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, lalu dia
berucap, ‘Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Allah, kemudian mu’adzin melanjutkan, ‘Saya bersaksi bahwa
Muhammad utusan Allah’, lalu dia mengucap, ‘Saya bersaksi bahwa Muhammad
utusan Allah’, kemudian mu’adzin berseru, ‘Marilah shalat’, dan dia
membaca, ‘Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) Allah’,
kemudian mu’adzin berseru, ‘Marilah menuju kebahagiaan, ‘ lalu dia
menjawab, ‘Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) Allah’,
kemudian mu’adzin berkata, ‘Allah Mahabesar, Allah Mahabesar’, lalu dia
menjawab, ‘Allah Mahabesar, Allah Mahabesar’, kemudian (menutup
adzannya) dengan lafadz, ‘Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Allah’, lalu dia menjawab dengan lafadz, ‘Tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selian Allah’. (Jika dia melakukan hal itu) Dengan sepenuh
hati, niscaya dia akan masuk surga.”
[Shahiih Muslim no. 388; Shahiih Al-Bukhaariy no. 613]
11. Berlomba-Lomba Untuk Mengumandangkan Adzan, Bersegera Menuju Shalat, Serta Berupaya Untuk Mendapatkan Shaf Pertama
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ
سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ
السَّمَّانِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ…لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ
وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا
لَاسْتَهَمُوا عَلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ
لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الْعَتَمَةِ
وَالصُّبْحِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah,
dari Maalik, dari Sumaiy maulaa Abu Bakr bin ‘Abdurrahman, dari Abu
Shaalih As-Sammaan, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda, “…Kalaulah manusia mengetahui apa yang
terdapat pada adzan dan shaf pertama kemudian mereka tidak mampu
mendapatinya kecuali dengan cara mengundi maka mereka pasti akan
mengundinya, dan kalaulah mereka mengetahui apa yang terdapat pada
bersegera menuju shalat maka mereka pasti akan berlomba-lomba kepadanya,
dan kalaulah mereka mengetahui apa yang terdapat pada ‘atamah (shalat
‘Isya’) dan shalat Subuh maka mereka pasti akan mendatanginya walau
dengan cara merangkak.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 654; Shahiih Muslim no. 440]
12. Meminta Izin Tiga Kali Ketika Bertamu
حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنِي
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ
بُكَيْرِ بْنِ الْأَشَجِّ أَنَّ بُسْرَ بْنَ سَعِيدٍ حَدَّثَهُ أَنَّهُ
سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُا كُنَّا فِي مَجْلِسٍ عِنْدَ
أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ فَأَتَى أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ مُغْضَبًا حَتَّى
وَقَفَ فَقَالَ أَنْشُدُكُمْ اللَّهَ هَلْ سَمِعَ أَحَدٌ مِنْكُمْ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الِاسْتِئْذَانُ
ثَلَاثٌ فَإِنْ أُذِنَ لَكَ وَإِلَّا فَارْجِعْ قَالَ أُبَيٌّ وَمَا ذَاكَ
قَالَ اسْتَأْذَنْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمْسِ ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي فَرَجَعْتُ ثُمَّ جِئْتُهُ الْيَوْمَ
فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ فَأَخْبَرْتُهُ أَنِّي جِئْتُ أَمْسِ فَسَلَّمْتُ
ثَلَاثًا ثُمَّ انْصَرَفْتُ قَالَ قَدْ سَمِعْنَاكَ وَنَحْنُ حِينَئِذٍ
عَلَى شُغْلٍ فَلَوْ مَا اسْتَأْذَنْتَ حَتَّى يُؤْذَنَ لَكَ قَالَ
اسْتَأْذَنْتُ كَمَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ فَوَاللَّهِ لَأُوجِعَنَّ ظَهْرَكَ وَبَطْنَكَ أَوْ
لَتَأْتِيَنَّ بِمَنْ يَشْهَدُ لَكَ عَلَى هَذَا فَقَالَ أُبَيُّ بْنُ
كَعْبٍ فَوَاللَّهِ لَا يَقُومُ مَعَكَ إِلَّا أَحْدَثُنَا سِنًّا قُمْ يَا
أَبَا سَعِيدٍ فَقُمْتُ حَتَّى أَتَيْتُ عُمَرَ فَقُلْتُ قَدْ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ هَذَا
Telah menceritakan kepadaku Abu
Ath-Thaahir, telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullaah bin Wahb, telah
menceritakan kepadaku ‘Amr bin Al-Haarits, dari Bukair bin Al-Asyaj,
bahwa Busr bin Sa’iid menceritakan kepadanya bahwa ia mendengar Abu
Sa’iid Al-Khudriy mengatakan, “Kami sedang berada di majelis Ubay bin
Ka’b, lalu datanglah Abu Muusaa Al-Asy’ariy dalam keadaan marah, lalu ia
berhenti seraya berkata, “Demi Allah, apakah di antara kalian ada yang
pernah mendengar sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang
berbunyi, “Meminta izin itu hanya tiga kali, apabila diizinkan, maka
kalian boleh masuk. Jika setelah tiga kali tidak ada jawaban, maka
pulanglah.” Ubay bertanya, “Ada apa dengan hadits tersebut?” Abu Muusaa
menjawab, “Kemarin aku telah meminta izin kepada ‘Umar (di rumahnya)
sebanyak tiga kali namun tidak ada jawaban, maka akupun pulang kembali.
Lalu pada hari ini aku mendatanginya lagi dan aku khabarkan kepadanya
bahwa aku telah menemuinya kemarin dan aku telah ucapkan salam sebanyak
tiga kali, namun tidak ada jawaban akhirnya aku pulang kembali. Maka
‘Umar menjawab, “Kami telah mendengarmu, akan tetapi waktu itu kami
memang sedang sibuk hingga tidak sempat mengizinkanmu, tetapi kenapa
kamu tidak menungguku sampai aku mengizinkanmu?” Abu Muusaa menjawab,
“Aku meminta izin sebagaimana yang telah aku dengar dari Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam.” Lalu ‘Umar berkata, “Demi Allah, aku
akan menghukummu hingga kamu mendatangkan saksi ke hadapanku mengenai
hadits itu.” Kemudian Ubay bin Ka’b berkata, “Demi Allah, tidak akan ada
yang menjadi saksi atasmu kecuali orang yang paling muda di antara
kami. Berdirilah wahai Abu Sa’iid!” Lalu akupun berdiri hingga aku
menemui ‘Umar, dan aku katakan kepadanya bahwa aku telah mendengar
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda seperti itu.”
[Shahiih Muslim no. 2154]
13. Mengibaskan Seprei Saat Hendak Tidur
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ
حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنِي
سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضْ فِرَاشَهُ
بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ ثُمَّ
يَقُولُ بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَرْفَعُهُ إِنْ
أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَارْحَمْهَا وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا
تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Yuunus, telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada
kami ‘Ubaidullaah bin ‘Umar, telah menceritakan kepadaku Sa’iid bin Abu
Sa’iid Al-Maqburiy, dari Ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian
hendak tidur di pembaringannya, maka hendaklah ia mengibaskan kasurnya
dengan kainnya karena sesungguhnya ia tidak tahu apa yang berada di
atasnya sepeninggalnya, kemudian ucapkan, bismika Rabbi wadha’tu janbiy
wa bika arfa’uhu in amsakta nafsiy farhamhaa wa in arsaltahaa fahfazhhaa
bimaa tahfazha bihi ‘ibaadakash shaalihiin (Dengan namaMu Wahai Tuhan,
aku baringkan punggungku dan dengan namaMu aku mengangkatnya, dan jika
Engkau menahan diriku maka rahmatilah aku, dan jika Engkau
melepaskannya, maka jagalah sebagaimana Engkau menjaga hamba-hambaMu
yang shalih).”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 6320; Shahiih Muslim no. 2716]
14. Meruqyah Diri Dan Keluarga
Disunnahkan untuk meruqyah diri sendiri
sebagaimana diceritakan oleh Tsaabit Al-Bunaaniy rahimahullah dari Anas
bin Maalik radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Al-Imam At-Tirmidziy :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بْنُ عَبْدِ
الصَّمَدِ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَالِمٍ حَدَّثَنَا
ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ قَالَ قَالَ لِي يَا مُحَمَّدُ إِذَا اشْتَكَيْتَ
فَضَعْ يَدَكَ حَيْثُ تَشْتَكِي وَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَعُوذُ بِعِزَّةِ
اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ مِنْ وَجَعِي هَذَا ثُمَّ
ارْفَعْ يَدَكَ ثُمَّ أَعِدْ ذَلِكَ وِتْرًا فَإِنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ
حَدَّثَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَدَّثَهُ بِذَلِكَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul
Waarits bin ‘Abdish Shamad, telah menceritakan kepadaku Ayahku, telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Saalim, telah menceritakan kepada
kami Tsaabit Al-Bunaaniy, ia berkata, “Wahai Muhammad, jika kau
merasakan sakit maka taruhlah tanganmu di bagian tubuh yang terasa
sakit, dan ucapkan, bismillaahi a’uudzu bi’izzatillaahi wa qudratihi min
syarri maa ajidu min waja’iy hadzaa (Dengan nama Allah, aku berlindung
dengan kemuliaan Allah dan kekuasaanNya dari sakit yang aku derita ini),
kemudian angkat kedua tanganmu lalu ulangi lagi seperti itu
(menempelkannya pada bagian yang sakit) sebanyak bilangan ganjil karena
sesungguhnya Anas bin Maalik telah menceritakan kepadaku bahwa
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepadanya seperti
itu.”
[Jaami' At-Tirmidziy no. 3588]
– At-Tirmidziy berkata,
“Hasan gharib.” Dan dishahihkan Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih
At-Tirmidziy dan Ash-Shahiihah no. 1258.
Hadits ini mempunyai syaahid dari ‘Utsmaan bin Abul ‘Aash radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan Al-Imam Ibnu Maajah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ
يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَعْبٍ
عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ
الثَّقَفِيِّ أَنَّهُ قَالَ قَدِمْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِي وَجَعٌ قَدْ كَادَ يُبْطِلُنِي فَقَالَ لِي
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْعَلْ يَدَكَ الْيُمْنَى
عَلَيْهِ وَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ
مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ سَبْعَ مَرَّاتٍ فَقُلْتُ ذَلِكَ
فَشَفَانِيَ اللَّهُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr,
telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abu Bukair, telah menceritakan
kepada kami Zuhair bin Muhammad, dari Yaziid bin Khushaifah, dari ‘Amr
bin ‘Abdillaah bin Ka’b, dari Naafi’ bin Jubair, dari ‘Utsmaan bin Abul
‘Aash Ats-Tsaqafiy, bahwa ia berkata, “Aku mendatangi Nabi Shallallaahu
‘alaihi wasallam dan aku sedang menderita penyakit yang sangat
mengganggu, maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku,
“Letakkan tanganmu yang kanan diatasnya (yaitu diatas bagian tubuh yang
sakit) lalu ucapkan, bismillahi a’uudza bi’izzatillaahi wa qudratihi min
syarri maa ajidu wa uhaadziru, sebanyak tujuh kali.” Maka aku
mengucapkan seperti itu dan Allah pun menyembuhkanku.”
[Sunan Ibnu Maajah no. 3522]
– Shahih, para perawinya adalah para perawi Ash-Shahiihain kecuali ‘Amr bin ‘Abdillaah, Al-Haafizh berkata ia tsiqah.
Dan disunnahkan pula meruqyah
keluarganya, juga orang lain yang membutuhkan sebagaimana malaikat
Jibriil ‘Alaihissalaam pernah meruqyah Rasulullah.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَرَ
الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ الدَّرَاوَرْدِيُّ عَنْ يَزِيدَ
وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ
عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا
قَالَتْ كَانَ إِذَا اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَقَاهُ جِبْرِيلُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ يُبْرِيكَ وَمِنْ كُلِّ
دَاءٍ يَشْفِيكَ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ وَشَرِّ كُلِّ ذِي
عَيْنٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Abu ‘Umar Al-Makkiy, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziiz
Ad-Daraawardiy, dari Yaziid -dan dia adalah Ibnu ‘Abdillaah bin Usaamah
bin Al-Haad-, dari Muhammad bin Ibraahiim, dari Abu Salamah bin
‘Abdurrahman, dari ‘Aaisyah istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam
-radhiyallahu ‘anha-, bahwa ia berkata, “Dahulu jika Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam sedang sakit maka Jibriil datang meruqyah
beliau, Jibriil mengucapkan, bismillaahi yubriika wa min kulli daa’in
yasyfiika wa min syarri haasidin idzaa hasada wa syarri kulli dzii
‘ainin (Dengan nama Allah yang menciptakanmu, Dialah Allah yang
menyembuhkanmu dari segala macam penyakit dan dari kejahatan pendengki
ketika ia mendengki serta segala macam kejahatan sorotan mata jahat
semua makhluk yang memandang dengan kedengkian).”
[Shahiih Muslim no. 2188; Musnad Ahmad no. 24743]
15. Berdoa Saat Memakai Pakaian Baru
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ،
أَخْبَرَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنِ الْجُرَيْرِيِّ، عَنْ أَبِي
نَضْرَةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: ” كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا اسْتَجَدَّ ثَوْبًا سَمَّاهُ بِاسْمِهِ
إِمَّا قَمِيصًا أَوْ عِمَامَةً ثُمَّ يَقُولُ: ” اللَّهُمَّ لَكَ
الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيهِ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا
صُنِعَ لَهُ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ “
Telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin
‘Aun, telah mengkhabarkan kepada kami Ibnul Mubaarak, dari Al-Jurairiy,
dari Abu Nadhrah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Dahulu jika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam memakai
baju baru, beliau memulai dengan menyebutkan nama baju tersebut, baik
itu baju kemeja atau imamah, kemudian beliau membaca, Allaahumma lakal
hamdu anta kasautaniihi as’aluka min khairihi wa khairi maa shuni’a lahu
wa a’uudzubika min syarrihi wa syarri maa shuni’a lahu (Ya Allah, hanya
bagiMu segala puji, Engkaulah yang memberikan pakaian ini kepadaku, aku
memohon kepadaMu untuk memperoleh kebaikannya dan kebaikan yang terbuat
karenanya, aku berlindung kepadaMu dari kejahatannya dan kejahatan yang
terbuat karenanya).”
[Sunan Abu Daawud no. 4020; Jaami' At-Tirmidziy no. 1767]
– Al-Haafizh dalam Nataa’ijul Ifkaar 1/124 menghasankan sanadnya.
16. Mengucapkan Salam Kepada Semua Orang Islam Termasuk Anak Kecil
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ
حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ
قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ
وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
Telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin
Khaalid, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari
Yaziid, dari Abul Khair, dari ‘Abdullaah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma,
bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wasallam, “Islam yang seperti apakah yang paling baik?” Nabi bersabda,
“Kau memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang kau kenal dan
kepada yang tidak kau kenal.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 12; Shahiih Muslim no. 42]
17. Berwudhu Sebelum Mandi Besar (Mandi Junub)
Disunnahkan untuk berwudhu’ sebelum
mengguyurkan air ke seluruh badan ketika mandi junub, dan ini masuk
dalam sunnah-sunnahnya mandi junub.
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ سَالِمِ
بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ كُرَيْبٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ مَيْمُونَةَ
قَالَتْ سَتَرْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ
يَغْتَسِلُ مِنْ الْجَنَابَةِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ صَبَّ بِيَمِينِهِ
عَلَى شِمَالِهِ فَغَسَلَ فَرْجَهُ وَمَا أَصَابَهُ ثُمَّ مَسَحَ بِيَدِهِ
عَلَى الْحَائِطِ أَوْ الْأَرْضِ ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ
غَيْرَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى جَسَدِهِ الْمَاءَ ثُمَّ تَنَحَّى
فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdaan,
ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullaah, ia berkata,
telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Al-A’masy, dari Saalim bin
Abul Ja’d, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Maimuunah radhiyallahu
‘anha, ia berkata, “Aku menutupi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam
ketika beliau sedang mandi junub, maka ia mencuci kedua tangannya
kemudian menuangkan dengan tangan kanannya ke tangan kirinya, beliau
mencuci kemaluan dan sekitarnya, kemudian menggosok kedua tangannya pada
dinding atau permukaan tanah, kemudian beliau berwudhu’ seperti wudhu’
untuk shalat selain kakinya, lalu beliau mengguyurkan air pada seluruh
badannya, beliau mengakhirinya dengan mencuci kakinya (untuk
menyempurnakan wudhu’nya).”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 281]
18. Membaca ‘Amin’ Dengan Suara Keras Saat Menjadi Makmum
Disyari’atkan bagi makmum untuk
mengucapkan “amin” karena jika ucapannya tersebut berbarengan dengan
amin-nya malaikat, dosa-dosanya akan diampuni Allah, berdasarkan dalil
berikut :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنَاهُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَمَّنَ الْقَارِئُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّ
الْمَلَائِكَةَ تُؤَمِّنُ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ
الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin
‘Abdillaah, telah menceritakan kepada kami Sufyaan, ia berkata,
Az-Zuhriy telah menceritakannya kepada kami, dari Sa’iid bin
Al-Musayyib, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Jika imam mengucapkan
aamiin, maka kalian ucapkan aamiin karena sesungguhnya para malaikat
juga mengucapkannya, maka barangsiapa ucapan aminnya bersamaan dengan
para malaikat maka dosa-dosanya yang telah lampau akan diampuni.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 6402; Shahiih Muslim no. 411]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ الْقَارِئُ { غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ } فَقَالَ مَنْ خَلْفَهُ آمِينَ فَوَافَقَ
قَوْلُهُ قَوْلَ أَهْلِ السَّمَاءِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah
bin Sa’iid, telah menceritakan kepada kami Ya’quub -yakni Ibnu
‘Abdirrahman-, dari Suhail, dari Ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika imam membaca
“ghairil maghduubi ‘alaihim wa ladhdhaalliin”, lalu ma’mum di
belakangnya mengucapkan aamiin dan ucapannya tersebut bersamaan dengan
ucapan penduduk langit, dosanya yang telah lampau akan diampuni.”
[Shahiih Muslim no. 413]
Dan mengucapkan aamiin dengan suara keras, inilah pendapat mayoritas ulama, pensyarah Sunan Abu Daawud berkata :
وَالْحَدِيث يَدُلّ عَلَى مَشْرُوعِيَّة
التَّأْمِين لِلْمَأْمُومِ وَالْجَهْرِيَّة وَقَدْ تَرْجَمَ الْإِمَام
الْبُخَارِيّ بَاب جَهْر الْمَأْمُوم بِالتَّأْمِينِ وَأَوْرَدَ فِيهِ
هَذَا الْحَدِيث
“Hadits ini menunjukkan masyru’nya
mengucapkan aamiin bagi ma’mum dan mengucapkan dengan jahr, dan sungguh
Al-Imam Al-Bukhaariy telah membuat bab “ma’mum mengucapkan aamiin dengan
suara keras”, lalu beliau mengeluarkan hadits ini.” ['Aunul Ma'buud no.
782]
19. Mengeraskan Suara Saat Membaca Dzikir Setelah Shalat
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَمْرٌو قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو
مَعْبَدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنْتُ
أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِالتَّكْبِيرِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin
‘Abdillaah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyaan, telah
menceritakan kepada kami ‘Amr, ia berkata, telah mengkhabarkan kepadaku
Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbaas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku
dahulu mengetahui selesainya shalat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam
dengan suara takbir mereka (yaitu suara dzikir).”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 842]
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ
أَخْبَرَنِي عَمْرٌو أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ
أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ
الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا
بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin
Nashr, ia berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, ia
berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata, telah
mengkhabarkan kepadaku ‘Amr, bahwa Abu Ma’bad maulaa Ibnu ‘Abbaas telah
mengkhabarkan kepadanya, bahwa Ibnu ‘Abbaas radhiyallahu ‘anhuma telah
mengkhabarkan kepadanya, bahwasanya mengeraskan suara dzikir ketika
manusia selesai menunaikan shalat fardhu terjadi di zaman Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ibnu ‘Abbaas berkata, “Aku dahulu
mengetahui mereka telah selesai shalat jika aku mendengar suara dzikir
mereka.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 841; Shahiih Muslim no. 586]
Al-Haafizh rahimahullah berkata bahwa
hadits diatas adalah dalil dibolehkannya berdzikir dengan suara keras
setelah selesai shalat [Fathul Baariy 2/324-326][1]
20. Membuat Pembatas Saat Sedang Shalat Fardhu Atau Shalat Sunnah
Pembatas ini dinamakan sutrah. Sutrah adalah sesuatu yang dianjurkan bahkan beberapa ulama menilainya wajib.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ،
حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ، عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ
أَسْلَمَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ
أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِذَا صَلَّى
أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Al-’Alaa’, telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid, dari Ibnu
‘Ajlaan, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Abdurrahman bin Abu Sa’iid
Al-Khudriy, dari Ayahnya, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian shalat maka shalatlah
dengan menghadap sutrah dan mendekatlah kepadanya.”
[Sunan Abu Daawud no. 697]
– Hasan. Para perawinya adalah para perawi Ash-Shahiihain.
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ وَإِذَا صَلَّى
أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub
bin Ibraahiim, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Malik bin Ar-Rabii’
bin Sabrah, dari Ayahnya, dari Kakeknya radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sutrah seorang
laki-laki dalam shalatnya adalah anak panah, jika salah seorang dari
kalian shalat maka batasilah dengan anak panah.”
[Musnad Ahmad no. 14801]
– Abul Hasan Al-Haitsamiy dalam Majma’ Az-Zawaa’id 2/61 berkata bahwa para perawinya adalah para perawi Ash-Shahiih.
ثنا بُنْدَارٌ، ثنا أَبُو بَكْرٍ يَعْنِي
الْحَنَفِيَّ، ثنا الضَّحَّاكُ بْنُ عُثْمَانَ، حَدَّثَنِي صَدَقَةُ بْنُ
يَسَارٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم: ” لا تُصَلِّ إِلا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلا تَدَعْ
أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ ؛ فَإِنَّ
مَعَهُ الْقَرِينَ
Telah menceritakan kepada kami Bundaar,
telah menceritakan kepada kami Abu Bakr -yakni Al-Hanafiy-, telah
menceritakan kepada kami Adh-Dhahhaak bin ‘Utsmaan, telah menceritakan
kepadaku Shadaqah bin Yasaar, ia berkata, aku mendengar Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Janganlah kalian shalat kecuali menghadap sutrah dan
jangan biarkan seorangpun melintas di hadapanmu, jika ia melawan maka
perangilah ia karena ia bersama dengan qarin (yaitu syaithan).”
[Shahiih Ibnu Khuzaimah no. 775; Shahiih Ibnu Hibbaan no. 2362]
– Shahih. Para perawinya adalah para perawi Ash-Shahiih.
Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukumnya dan butuh pembahasan yang sangat panjang sementara tidak disini
tempatnya. Yang telah jelas disepakati adalah bahwa sutrah adalah
sesuatu yang disyari’atkan ketika hendak shalat terutama ketika kita
shalat munfarid, shalat sunnah atau ketika kita menjadi imam dalam
shalat berjama’ah. Namun jika kita menjadi ma’mum maka sutrah kita
adalah sutrah yang digunakan oleh imam.
Demikian yang bisa kami tuliskan mengenai
sunnah-sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam kehidupan
sehari-hari, sungguh merupakan suatu keutamaan jika kita bisa
menghidupkannya dalam kehidupan kita disaat manusia banyak melupakannya.
Wa billaahit taufiiq. Wallaahu a’lam.
Dikutip dari berbagai sumber.
Footnotes :
[1]
Dari sini, maka dapat disimpulkan bahwa teknis berdzikir setelah shalat
terbagi menjadi dua, yaitu dengan mengeraskan suara, dalilnya seperti
disebutkan diatas. Lalu dengan melirihkan suara. Dalil untuk ini adalah
firman Allah Ta’ala :
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا
وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا
تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu
dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan
suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang
yang lalai. [QS Al-A'raaf : 205]
Lalu sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata :
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ
هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى
أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّهُ
مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ
“Kami pernah berjalan bersama Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ketika kami menaiki bukit maka kami
bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami, lalu Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai sekalian manusia,
lembutkanlah diri kalian karena sesungguhnya kalian tidaklah menyeru
kepada Dzat yang tuli dan ghaib, sesungguhnya Dia bersama kalian dan
Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Maha Suci namaNya dan Maha Tinggi
kebesaranNya.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 2992]
Oleh karena itulah maka dibolehkan berdzikir setelah shalat dengan mengeraskan suara. Al-Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm berkata :
ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن
“Dan mengeraskan suara dengan takbir setelah tiap shalat adalah (amal yang) baik.” [Al-Muhallaa 4/260]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziiz bin Baaz ditanya mengenai dzikir dengan mengeraskan suara setelah shalat, maka jawab beliau :
نعم ، هذا هو السنة رفع الصوت بالذكر ، أما
من قال إنه بدعة فهو غلطان ، السنة أن يرفع الصوت بالذكر كما كان النبي
يفعل وأصحابه ، يقول ابن عباس رضي الله عنهما : كان رفع الصوت بالذكر حين
ينصرف الناس من المكتوبة على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، قال ابن عباس :
كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته فالسنة للإمام والمأمومين إذا سلموا
من الصلاة رفع الصوت رفعا متوسطا لا صراخ فيه حتى يتعلم الجاهل ويتذكر
الناسي ، أما ما يفعل بعض الناس يهلل بينه وبين نفسه فلا ، هذا خلاف السنة ،
السنة أن يرفع الصوت بالذكر حتى يتتابع الناس بأفعال السنة
“Ya, berdzikir dengan mengeraskan suara
adalah sunnah, adapun yang mengatakan bahwa perbuatan itu adalah bid’ah,
maka ia salah. Termasuk sunnah adalah mengeraskan suara ketika
berdzikir sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam
dan para sahabatnya, Ibnu ‘Abbaas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
“Mengeraskan suara dzikir ketika manusia selesai menunaikan shalat
fardhu terjadi di zaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam,” Ibnu
‘Abbaas berkata, “Aku dahulu mengetahui mereka (para sahabat) telah
selesai shalat jika aku mendengar suara dzikir mereka.” Maka sunnah
untuk imam dan ma’mum jika mereka telah salam dari shalat, mereka
mengeraskan suara dzikir mereka dengan suara yang sedang dan tidak
dengan berteriak hingga orang yang tidak mengetahui mempelajari hal ini
dan mengingatkan manusia. Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian
manusia dengan bertahlil di dalam hati maka ini tidak benar, menyalahi
sunnah. Yang sunnah adalah berdzikir dengan mengeraskan suara hingga
manusia menjadi pengikut sunnah.” [Fatawaa Nuur 'alaa Ad-Darb 9/87]
Adapun setelah dipahami bahwasanya dzikir
dengan mengeraskan suara itu memang sah, maka para ulama pun memaknai
bahwasanya dzikir dengan suara keras itu tidaklah dilakukan oleh Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam secara terus menerus, atau dengan kata
lain Nabi melakukannya sesekali saja dengan maksud untuk memberi
pengajaran kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum, terbukti dengan
lafazh yang dipakai oleh Ibnu ‘Abbaas yaitu “kuntu” (aku dahulu) yang
menunjukkan perbuatan ini memang pernah terjadi namun tidaklah
dirutinkan. Al-Imam An-Nawawiy berkata :
وحمل الشافعي رحمه الله هذا الحديث على أنه
جهر وقتاً يسيراً حتى يعلمهم صفة الذكر، لا أنهم جهروا دائماً. قال:
فأختار للإمام والمأموم أن يذكرا الله تعالى بعد الفراغ من الصلاة ويخفيان
ذلك، إلا أن يكون إماماً يريد أن يتعلم منه فيجهر حتى يعلم أنه قد تعلم
منه، ثم يُسِرُّ، وحمل الحديث على هذا
“Dan Asy-Syaafi’iy rahimahullah membawa
hadits ini kepada pengertian bahwasanya ia dikerjakan jahr sesekali dan
sirr sesekali hingga beliau mengajarkan kepada mereka (yaitu para
sahabat) sifat dzikir, tidaklah mereka melakukannya secara jahr terus
menerus. Asy-Syaafi’iy berkata, “Aku memilih untuk imam dan ma’mum bahwa
mereka berdzikir kepada Allah Ta’ala setelah menunaikan shalat dengan
dipelankan, kecuali imam menginginkan untuk mengajarkan mereka maka ia
menjahrkannya hingga mereka mengetahuinya, kemudian imam kembali
merendahkan suaranya.” Beliau membawa hadits kepada pengertian seperti
ini.” [Syarh Shahiih Muslim, via islamweb]
Dan yang juga dapat dipahami dari hadits
Ibnu ‘Abbaas tersebut adalah ia bukanlah dalil untuk berdzikir dengan
dikomandoi satu suara secara berjama’ah, atau lazim kita kenal dengan
dzikir berjama’ah. Namun yang dimaksud dan dimaknai oleh hadits adalah
berdzikir dengan suara keras dan dilakukan dengan sendiri-sendiri.
Wallaahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar